Analisis Hukum UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
Berikut konteks historis dan informasi pendukung krusial yang perlu diketahui terkait UU ini:
1. Pemicu Historis: Krisis Keuangan 1997–1998
- UU ini merupakan respons struktural terhadap krisis moneter 1997–1998 yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia. Saat itu, ketiadaan mekanisme koordinasi antarotoritas keuangan (Bank Indonesia, pemerintah, OJK) memperparah krisis.
- Reformasi pascakrisis seperti pembentukan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) pada 2004 dan OJK pada 2011 belum cukup mengantisipasi kompleksitas krisis sistemik di era globalisasi.
2. Pembentukan KSSK: Solusi atas Fragmentasi Koordinasi
- Sebelum UU No. 9/2016, koordinasi antarlembaga keuangan dilakukan melalui Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) yang bersifat non-binding. KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) dibentuk untuk memperkuat otoritas koordinasi dengan kewenangan mengambil keputusan strategis, termasuk penggunaan dana pemerintah untuk penyelamatan sistem keuangan.
- KSSK terdiri dari Menteri Keuangan (Ketua), Gubernur BI, Ketua Dewas OJK, dan Ketua Komite LPS, mencerminkan pendekatan integrasi vertikal-horizontal.
3. Bank Sistemik: Pelajaran dari Krisis Global 2008
- UU ini mengadopsi prinsip "Too Big to Fail" pascakrisis global 2008 dengan mengatur penanganan bank sistemik (bank yang kegagalannya berpotensi memicu krisis nasional).
- Penyertaan Modal Sementara (PMS) diatur sebagai instrumen darurat untuk menyuntik modal ke bank sistemik tanpa membebani APBN, dengan mekanisme pengembalian yang jelas.
4. Penguatan Kerangka Hukum Krisis
- UU ini mencabut dan merevisi pasal-pasal krusial di UU Perbankan (No. 10/1998), UU BI (No. 23/1999), dan UU OJK (No. 21/2011) yang sebelumnya tumpang tindih atau tidak mengatur skenario krisis komprehensif.
- Legal standing intervensi pemerintah dipertegas, termasuk penggunaan dana publik untuk stabilisasi sistem keuangan dengan prinsip bailout terukur dan bail-in (kontribusi pemegang saham/kreditur).
5. Harmonisasi dengan Standar Internasional
- UU No. 9/2016 selaras dengan rekomendasi Financial Stability Board (FSB) dan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) tentang manajemen risiko sistemik dan resolusi krisis.
- Indonesia menunjukkan komitmen pada G20 Principles dengan membentuk kerangka hukum yang responsif terhadap dinamika keuangan global.
6. Tantangan Implementasi
- Koordinasi KSSK vs Otonomi Lembaga: Potensi konflik kepentingan antaranggota KSSK (misal: BI sebagai regulator moneter vs OJK sebagai pengawas jasa keuangan) perlu diantisipasi melalui mekanisme transparansi.
- Dana Stabilisasi: Meski UU mengatur penggunaan dana pemerintah, tidak ada jaminan politik anggaran yang memadai dalam situasi krisis multidimensi (contoh: pandemi COVID-19).
Kesimpulan
UU No. 9/2016 adalah landasan hukum progresif untuk memitigasi krisis keuangan di Indonesia, tetapi efektivitasnya bergantung pada kesiapan infrastruktur keuangan, kedewasaan politik anggaran, dan sinergi antarlembaga. Penerapannya dalam kasus seperti krisis COVID-19 (2020–2021) menjadi ujian nyata bagi kapasitas KSSK.