Analisis Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Konteks Historis
-
Latar Belakang Sosial-Ekonomi:
- Pada era 2000-an, praktik outsourcing di Indonesia marak digunakan perusahaan untuk menekan biaya tenaga kerja, terutama di sektor manufaktur, pertambangan, dan jasa. Namun, hal ini kerap menimbulkan polemik karena pekerja outsourcing seringkali tidak mendapat hak layaknya karyawan tetap (seperti jaminan sosial, upah layak, atau kepastian kerja).
- Permenaker No. 19/2012 hadir sebagai respons atas tuntutan serikat buruh dan aktivis hak pekerja untuk mengatur batasan outsourcing guna mencegah eksploitasi pekerja.
-
Dasar Hukum Sebelumnya:
- Permenaker ini merupakan turunan dari Pasal 64-66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur larangan penyerahan pekerjaan kepada pihak lain jika mengalihkan seluruh kendali pekerjaan. Namun, UU tersebut dinilai ambigu, sehingga perlu dipertegas melalui peraturan teknis.
-
Tensi Politik dan Serikat Buruh:
- Tahun 2012 diwarnai aksi buruh besar-besaran (misalnya, demo buruh di Jabodetabek) yang menuntut penghapusan praktik outsourcing dan kontrak kerja tidak tetap. Permenaker ini menjadi kompromi politik untuk meredam konflik, tetapi tetap mempertahankan fleksibilitas bisnis.
Poin Krusial yang Sering Diabaikan
-
Larangan Outsourcing pada Pekerjaan Inti:
- Permenaker ini secara eksplisit melarang penyerahan pekerjaan inti (core business) ke perusahaan lain (Pasal 5). Contoh pekerjaan inti: produksi di pabrik manufaktur, layanan utama bank.
- Namun, banyak perusahaan tetap melanggar dengan mengkategorikan pekerjaan inti sebagai "non-inti" (misalnya, operator mesin dianggap sebagai pekerjaan pendukung).
-
Kewajiban Perusahaan Pemberi Kerja:
- Perusahaan pengguna jasa outsourcing wajif memastikan perusahaan penyedia memiliki izin resmi (Pasal 8) dan memenuhi hak pekerja (Pasal 9). Namun, dalam praktik, pengawasan lemah menyebabkan banyak perusahaan penyedia tidak berizin atau menggaji di bawah UMP.
-
Status "Tidak Berlaku":
- Permenaker No. 19/2012 telah dicabut oleh Permenaker No. 10 Tahun 2018 yang memperketat aturan outsourcing, misalnya dengan mewajibkan perjanjian tertulis berbahasa Indonesia dan sanksi administratif lebih berat.
Dampak dan Tantangan Implementasi
-
Dualisme Kepentingan:
- Di satu sisi, Permenaker ini dianggap melindungi pekerja, tetapi di sisi lain, industri mengeluhkan biaya operasional meningkat.
- Banyak perusahaan beralih ke skema freelance atau kontrak proyek untuk menghindari aturan ini.
-
Kendala Pengawasan:
- Kementerian Ketenagakerjaan kesulitan memantau ribuan perusahaan penyedia outsourcing, terutama di daerah terpencil.
- Sanksi yang tidak tegas (seperti teguran tertulis) juga mengurangi efek jera.
Rekomendasi untuk Klien
- Jika klien menggunakan jasa outsourcing, pastikan perusahaan penyedia telah memenuhi Permenaker No. 10/2018 dan memisahkan pekerjaan inti/non-inti dengan jelas.
- Lakukan audit berkala terhadap perusahaan penyedia untuk menghindari risiko hukum dan konflik industrial.
Permenaker No. 19/2012 mencerminkan dinamika perlindungan pekerja vs. fleksibilitas bisnis di Indonesia. Meski sudah dicabut, prinsip-prinsipnya tetap relevan sebagai acuan dalam memahami evolusi hukum ketenagakerjaan Indonesia.