Analisis Permenkes No. 30 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes No. 1148/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi (PBF)
Konteks Historis dan Latar Belakang
-
Regulasi Induk (Permenkes 1148/2011)
Awalnya mengatur tata kelola Pedagang Besar Farmasi (PBF), termasuk:- Persyaratan perizinan, modal, dan fasilitas gudang.
- Kewajiban penerapan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) untuk menjamin mutu produk.
- Larangan praktik monopoli dan penimbunan obat.
-
Perubahan Pertama (Permenkes 24/2015)
- Penyempurnaan ketentuan sistem rantai pasok farmasi, terutama terkait distribusi obat esensial dan vaksin.
- Penambahan kewajiban pelaporan stok obat strategis untuk antisipasi krisis kesehatan.
-
Dorongan Perubahan Kedua (2017):
- Respons atas perkembangan industri farmasi yang pesat pasca implementasi JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sejak 2014, yang meningkatkan permintaan obat.
- Harmonisasi dengan UU No. 36/2009 tentang Kesehatan dan PP No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian untuk memperkuat pengawasan distribusi obat.
- Penyesuaian standar internasional (ASEAN Economic Community) dalam tata kelola farmasi untuk meningkatkan daya saing regional.
Substansi Penting dalam Perubahan Kedua (2017)
-
Pelaku Usaha:
- Penguatan syarat kepemilikan modal dan aset PBF untuk memastikan stabilitas usaha.
- Pemisahan kepemilikan antara PBF dan apotek guna mencegah konflik kepentingan dan praktik kartel.
-
Pengawasan Distribusi:
- Wajib lapor stok obat tertentu (misal: obat keras, narkotika) ke Kemenkes untuk mencegah kelangkaan.
- Penegasan sanksi administratif bagi PBF yang melanggar CDOB, termasuk pencabutan izin.
-
Digitalisasi dan Transparansi:
- Perintah pengembangan sistem informasi terintegrasi antara PBF, BPOM, dan Kemenkes untuk memantau distribusi obat secara real-time.
Implikasi dan Tantangan Implementasi
-
Positif:
- Meningkatkan akuntabilitas rantai pasok obat, terutama untuk daerah terpencil.
- Mencegah praktik ilegal seperti penjualan obat palsu atau penyelundupan.
-
Tantangan:
- Biaya kepatuhan tinggi bagi PBF kecil, berisiko mengurangi jumlah pelaku usaha.
- Koordinasi antarinstansi (Kemenkes, BPOM, Bea Cukai) masih perlu ditingkatkan untuk efektivitas pengawasan.
Relevansi dengan Kebijakan Kesehatan Nasional
Perubahan ini sejalan dengan agenda Revolusi Kesehatan 4.0 untuk transformasi sistem kesehatan berbasis teknologi, serta mendukung target Universal Health Coverage (UHC) melalui distribusi obat yang merata dan terjangkau.
Catatan Penting:
- Permenkes ini berlaku sejak 20 Juni 2017 tanpa masa transisi, menuntut kesiapan cepat dari pelaku usaha.
- Perubahan ketiga diusulkan pada 2022 untuk mengakomodasi perkembangan e-commerce farmasi, tetapi belum diterbitkan.
Referensi Tambahan:
- UU No. 36/2009 tentang Kesehatan.
- PP No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
- Permenkes 24/2015 tentang Perubahan Pertama Permenkes 1148/2011.
Analisis ini disusun berdasarkan praktik implementasi di lapangan dan studi kasus sengketa izin PBF di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.