Analisis Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi (PBF)
Konteks Historis dan Tujuan
-
Latar Belakang Regulasi Awal (Permenkes 1148/2011):
Peraturan sebelumnya mengatur tata cara perizinan, operasional, dan kewajiban Pedagang Besar Farmasi (PBF) sebagai pelaku utama distribusi obat dan bahan farmasi. Tujuannya adalah menjamin ketersediaan obat yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta mencegah penyalahgunaan distribusi. -
Kebutuhan Perubahan (2014):
Permenkes No. 34/2014 muncul sebagai respons atas dinamika industri farmasi, termasuk:- Tantangan Distribusi Global: Peningkatan perdagangan farmasi internasional dan kebutuhan harmonisasi dengan standar Good Distribution Practices (GDP) untuk menjamin mutu produk.
- Perlindungan Konsumen: Maraknya kasus obat palsu/ilegal yang beredar di pasaran, terutama melalui jalur non-resmi.
- Reformasi Sistem Kesehatan Nasional: Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014 membutuhkan sistem distribusi farmasi yang efisien dan transparan untuk memenuhi kebutuhan obat di fasilitas kesehatan.
Poin-Poin Kunci Perubahan
-
Penguatan Sistem Lisensi dan Pengawasan:
- Persyaratan izin PBF diperketat, termasuk kewajiban memiliki tenaga teknis kefarmasian yang kompeten dan fasilitas penyimpanan sesuai standar (misalnya: suhu, kelembaban).
- Pemerintah mempertegas sanksi administratif bagi PBF yang melanggar, seperti pencabutan izin.
-
Integrasi dengan Kebijakan Lain:
- Permenkes ini selaras dengan PP No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dan UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, terutama dalam menjamin mutu produk dari hulu ke hilir.
- Mendukung inisiatif ASEAN Economic Community (AEC) 2015 dengan meningkatkan daya saing industri farmasi nasional melalui standar distribusi yang diakui regional.
-
Fokus pada Rantai Pasok Strategis:
- Penekanan pada distribusi obat esensial, vaksin, dan bahan baku farmasi untuk menghindari kelangkaan.
- Pengaturan khusus untuk obat berkategori risiko tinggi (misalnya: narkotika, psikotropika) guna mencegah kebocoran ke pasar gelap.
Implikasi dan Tantangan
- Bagi PBF: Peningkatan biaya operasional untuk memenuhi standar fasilitas dan SDM. Namun, ini menjadi nilai tambah dalam kompetisi pasar.
- Bagi Pemerintah: Perlu penguatan kapasitas pengawasan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan daerah.
- Isu Kritis: Implementasi belum merata di seluruh Indonesia, terutama di daerah terpencil dengan infrastruktur terbatas.
Catatan Penting
- Permenkes ini merupakan bagian dari upaya Indonesia mencapai Universal Health Coverage (UHC) dengan menjamin akses obat yang merata dan berkualitas.
- Perubahan ini juga menjadi fondasi bagi regulasi farmasi lebih lanjut, seperti Permenkes No. 3/2023 tentang Tata Laksana Obat, yang semakin memperkuat pengawasan digital dan tracking system.
Rekomendasi: PBF perlu berinvestasi dalam sistem manajemen mutu dan kolaborasi dengan regulator untuk memastikan kepatuhan, sekaligus memanfaatkan insentif pemerintah bagi pelaku yang memenuhi standar.