Sebagai advokat yang berpengalaman di bidang perpajakan, berikut analisis kontekstual dan informasi tambahan mengenai PMK No. 34/PMK.010/2017 yang perlu diketahui:
Konteks Historis dan Tujuan Regulasi
-
Latar Belakang Ekonomi-Politik (2017)
PMK ini diterbitkan dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak di tengah upaya pemerintah meningkatkan rasio pajak Indonesia (saat itu sekitar 10-11%), yang dinilai rendah dibandingkan negara ASEAN lain. Fokus pada PPh Pasal 22 mencerminkan strategi untuk memperkuat pemungutan pajak di sektor impor dan transaksi barang strategis, yang rawan penyelundupan dan penghindaran pajak. -
Harmonisasi dengan Reformasi Administrasi Perpajakan
PMK ini merupakan bagian dari paket kebijakan pendukung Tax Amnesty 2016-2017 (UU No. 11/2016), di mana pemerintah berupaya memperkuat basis pajak setelah program pengampunan pajak berakhir. PPh Pasal 22 diposisikan sebagai instrumen pengawasan (withholding tax) untuk transaksi berisiko tinggi.
Substansi Krusial yang Perlu Dipahami
-
Perluasan Subjek dan Objek Pemungutan
PMK No. 34/2017 memperluas cakupan pemungut PPh Pasal 22 tidak hanya pada impor, tetapi juga:- Transaksi dengan BUMN/BUMD,
- Pembelian barang oleh pemerintah melalui APBN/APBD,
- Kegiatan di bidang migas, pertambangan, dan konstruksi,
- Sektor-sektor strategis seperti semen, baja, dan otomotif.
-
Tarif dan Mekanisme Pemungutan
- Impor: Tarif 2,5% (disesuaikan dengan API) atau 7,5% (non-API), dengan pengecualian untuk komoditas tertentu (e.g., beras, kedelai).
- Non-Impor: Tarif bervariasi (0,1%-1,5%) tergantung jenis transaksi dan status NPWP pembeli.
- Mekanisme: Pemungut wajib menyetor dan melapor melalui SSP/SSPC PPh Pasal 22.
-
Penegasan Peran Pemungut
Regulasi ini mempertegas kewajiban Bendahara Pemerintah, bank, dan importir sebagai pemungut pajak, dengan sanksi administrasi jika lalai (denda 2% per bulan sesuai UU KUP).
Perkembangan Pasca-Pencabutan
PMK No. 34/2017 tidak berlaku sejak diubah oleh PMK No. 41/PMK.010/2020. Perubahan utama meliputi:
- Penyesuaian tarif PPh Pasal 22 impor (misal: tarif 2,5% untuk API menjadi 2,2%),
- Penyederhanaan ketentuan untuk transaksi pemerintah,
- Penguatan integrasi data melalui sistem elektronik (e-Faktur, INSW).
Implikasi Praktis bagi Klien
-
Transaksi Masa Lalu (2017-2020)
Klien yang terlibat dalam transaksi impor/pengadaan barang pada periode berlakunya PMK ini wajib memastikan kepatuhan pemungutan PPh Pasal 22, karena berpotensi menjadi objek pemeriksaan pajak. -
Risiko Hukum
Pelanggaran ketentuan PMK ini (misal: pemungut tidak menyetor pajak) dapat berimplikasi pada tuntutan pidana perpajakan (Pasal 39 UU KUP) atau sengketa dengan pihak yang dipungut. -
Strategi Keberatan/Pembetulan
Jika terdapat pemungutan yang tidak sesuai (misal: kesalahan tarif), klien dapat mengajukan pembetulan SSP/PBK atau pengembalian pajak (restitusi) sesuai prosedur UU KUP.
Rekomendasi
- Lakukan audit kepatuhan retroaktif untuk transaksi periode 2017-2020.
- Perhatikan asas finalitas PPh Pasal 22 untuk transaksi tertentu (e.g., migas).
- Manfaatkan PER-22/PJ/2013 tentang Tata Cara Pemungutan sebagai panduan teknis pelaksanaan.
Semoga analisis ini memberikan perspektif holistik untuk pengambilan keputusan hukum klien.