Sebagai pengacara yang berpengalaman dalam hukum perpajakan Indonesia, berikut analisis kontekstual dan informasi tambahan terkait PP No. 55 Tahun 2022 yang perlu diketahui klien:
1. Latar Historis dan Tujuan Strategis
- PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) No. 7/2021 dan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Tujuannya menyelaraskan kebijakan pajak dengan agenda reformasi struktural pemerintah untuk meningkatkan investasi, kepatuhan pajak, serta mencegah penghindaran pajak (tax avoidance).
- Muncul sebagai respons atas tekanan global (seperti OECD/G20 BEPS Project) untuk mengatasi praktik alih laba (profit shifting) oleh perusahaan multinasional dan memastikan Indonesia tidak kehilangan basis pajak.
2. Poin Krusial yang Perlu Dipahami
a. Warga Negara Asing (WNA) dan Keahlian Tertentu
- PP ini mempertegas kriteria WNA yang menjadi subjek pajak berdasarkan 183 hari atau periode 12 bulan, termasuk aturan penghitungan waktu tinggal.
- Keahlian tertentu (misalnya ahli teknologi, konsultan) diatur untuk mencegah penyalahgunaan status "non-subjek pajak" oleh WNA yang bekerja di Indonesia tanpa izin resmi.
b. Zakat dan Sumbangan Keagamaan
- Zakat/CSR keagamaan yang wajib (seperti zakat fitrah) kini dikecualikan dari objek PPh. Ini melanjutkan kebijakan sebelumnya (PMK No. 254/PMK.03/2010) tetapi dengan perluasan kriteria lembaga penerima yang diakui (misalnya BAZNAS, LAZ terdaftar).
- Catatan: Sumbangan ke lembaga non-terdaftar atau sumbangan sukarela (bukan wajib) tetap menjadi objek pajak.
c. Insentif untuk UMKM dan Perseroan Terbuka
- Tarif PPh Final 0,5% untuk UMKM (Pasal 4 ayat 2) diperluas dengan batasan peredaran bruto Rp500 juta–Rp4,8 miliar. Ini revisi dari PP No. 23/2018 yang sebelumnya hanya memberi tarif 0,5% tanpa batas bawah.
- Tarif PPh Badan 19% (dari sebelumnya 22%) untuk emiten saham dengan minimal 40% saham publik bertujuan mendorong go public perusahaan dan likuiditas pasar modal.
d. Naturà dan Kenikmatan
- Penggantian natura/kenikmatan (misalnya mobil dinas, perumahan) dikecualikan dari objek pajak jika memenuhi syarat:
- Diberikan untuk operasional perusahaan (bukan insentif personal).
- Tidak dapat dikonversi ke uang tunai.
- Diatur dalam perjanjian kerja/perusahaan.
3. Pencabutan Peraturan Lama
PP ini mencabut PP No. 18/2009 (kompensasi natura), PP No. 23/2018 (PPh Final UMKM), dan PP No. 30/2020 (insentif COVID-19). Klien yang sebelumnya memanfaatkan aturan ini harus menyesuaikan dengan ketentuan baru, terutama terkait batasan waktu dan kriteria insentif.
4. Implikasi Kontroversial
- Penerapan GAAR (General Anti-Avoidance Rule): PP ini memperkuat instrumen pencegahan penghindaran pajak, termasuk kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk membatalkan transaksi "tidak substansial". Klien perlu memastikan transaksi lintas negara memiliki business purpose jelas.
- Sanksi untuk Tax Treaty Abuse: Pemanfaatan Perjanjian Pajak (P3B) yang tidak sesuai dengan substance over form dapat dikenakan sanksi administratif.
5. Risiko Hukum untuk Klien
- Dokumentasi Transaksi: Kewajiban pembuktian (burden of proof) untuk transaksi afiliasi (transfer pricing) kini lebih ketat. Perusahaan multinasional harus menyiapkan Master File/Local File sesuai OECD Guidelines.
- Penghitungan Penyusutan Aset: Metode penyusutan diubah (Pasal 11), khusus untuk aset tertentu di sektor infrastruktur dan energi terbarukan. Klien perlu merevisi laporan keuangan sesuai masa manfaat baru.
6. Konteks Global
- Aturan tentang Controlled Foreign Company (CFC) dan Thin Capitalization dalam PP ini selaras dengan BEPS Action Plan 3 & 4, memastikan Indonesia tidak tertinggal dalam standardisasi pajak internasional pasca-pandemi.
Rekomendasi Strategis
- Lakukan peninjauan ulang struktur transaksi afiliasi dan skema imbalan karyawan.
- Manfaatkan insentif UMKM dengan memastikan pembukuan terpisah antara usaha mikro dan non-mikro.
- Audit kepatuhan zakat/sumbangan keagamaan melalui lembaga resmi untuk menghindari koreksi fiskal.
PP No. 55/2022 merepresentasikan upaya pemerintah meningkatkan basis pajak sekaligus memberi insentif selektif. Klien perlu proaktif menyesuaikan kebijakan internal demi meminimalkan risiko sengketa pajak.