Analisis Hukum Terhadap Permen ESDM No. 11 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Usaha Ketenagalistrikan
Konteks Historis dan Politik
-
Reformasi Sektor Ketenagalistrikan Pasca UU Cipta Kerja:
Permen ini merupakan turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang bertujuan menyederhanakan perizinan dan meningkatkan investasi di sektor energi. Pemerintah ingin mempercepat transisi ke energi bersih sekaligus menjamin keandalan pasokan listrik nasional, terutama di era peningkatan permintaan listrik sebesar 6-7% per tahun. -
Respon Terhadap Krisis Investasi di Sektor EBT:
Sebelumnya, investasi di energi terbarukan (EBT) terhambat oleh regulasi yang tumpang tindih dan insentif yang tidak jelas. Permen ini muncul sebagai upaya mengakomodasi kebutuhan investor dengan memperjelas skema kerja sama, harga jual listrik EBT (feed-in tariff), dan mekanisme open access (pemanfaatan jaringan PLN oleh swasta).
Perubahan Signifikan dari Regulasi Sebelumnya
Permen ini mencabut Permen ESDM No. 28 Tahun 2016 dan No. 10 Tahun 2017, dengan beberapa poin kunci:
-
Pelibatan Swasta yang Lebih Luas:
- Memungkinkan swasta membangun dan mengelola jaringan distribusi untuk kebutuhan industri (misalnya: kawasan ekonomi khusus).
- Skema Public Private Partnership (PPP) diperkuat untuk proyek infrastruktur listrik skala besar.
-
Fleksibilitas Harga Listrik EBT:
Harga listrik dari EBT (seperti PLTS, PLTB, PLTA) tidak lagi terikat pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) setempat, tetapi bisa dinegosiasikan berdasarkan kelayakan proyek. Ini menjadi angin segar bagi daerah dengan BPP rendah tetapi potensi EBT tinggi (misalnya: NTT, Maluku). -
Simplifikasi Perizinan:
Kewenangan izin usaha ketenagalistrikan dipusatkan melalui sistem OSS (Online Single Submission), mengurangi peran pemerintah daerah untuk menghindari tumpang tindih regulasi.
Kontroversi dan Tantangan Implementasi
-
Dominasi PLN vs Swasta:
Meski mendorong investasi swasta, Permen ini tetap menegaskan PLN sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan (PKUK). Kritikus menilai hal ini berpotensi memicu konflik kepentingan, terutama terkait akses jaringan transmisi milik PLN. -
Proteksi Tarif Listrik untuk Masyarakat:
Mekanisme cost recovery (pengembalian biaya investasi melalui tarif listrik) dikhawatirkan membebani konsumen jika proyek swasta tidak efisien. Pemerintah menjamin skema ini hanya berlaku untuk kebutuhan industri, bukan rumah tangga. -
Isu Lingkungan dan Tata Ruang:
Percepatan proyek EBT berpotensi berbenturan dengan aturan AMDAL dan alih fungsi lahan, terutama di wilayah adat atau hutan lindung.
Dampak Strategis
-
Penurunan Emisi Karbon:
Permen ini selaras dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia untuk mengurangi emisi GRK 29%–41% pada 2030, dengan porsi EBT dalam bauran energi mencapai 23% pada 2025. -
Peningkatan Daya Saing Industri:
Tarif listrik kompetitif untuk industri (misalnya: smelter, kawasan industri) diharapkan menarik investasi asing langsung (foreign direct investment).
Rekomendasi untuk Klien
- Perusahaan Swasta: Manfaatkan klausul open access dan skema harga EBT yang fleksibel untuk proyek listrik mandiri di kawasan industri.
- Investor Asing: Perhatikan ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang membatasi kepemilikan asing di sektor ketenagalistrikan tertentu.
- LSM/Pemangku Kepentingan Lokal: Awasi implementasi proyek EBT untuk memastikan kepatuhan terhadap hak masyarakat adat dan lingkungan.
Permen ini menjadi landasan krusial transisi energi Indonesia, meski memerlukan pengawasan ketat untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.