Analisis UU No. 10 Tahun 1994 tentang Perubahan UU Pajak Penghasilan
Konteks Historis:
-
Era Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi
UU ini lahir dalam periode economic reform Orde Baru (akhir 1980-an–1990-an) yang fokus pada stabilisasi ekonomi, deregulasi, dan peningkatan investasi asing. Pemerintah saat itu gencar merevisi sistem perpajakan untuk menyesuaikan dengan dinamika global, termasuk menyambut liberalisasi perdagangan (AFTA 1992) dan meningkatkan daya saing Indonesia. -
Respons atas Kebutuhan Fiskal
Krisis minyak 1980-an mengurangi ketergantungan Indonesia pada migas. Pajak penghasilan (PPh) menjadi tulang punggung baru penerimaan negara. UU No. 10/1994 memperkuat basis pajak dan memperbaiki struktur tarif untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio) yang masih rendah (sekitar 10% PDB di era 1990-an).
Perubahan Krusial yang Perlu Diketahui:
-
Penyederhanaan Tarif PPh Orang Pribadi
Tarif progresif dipadatkan dari 5 lapis (0–35%) menjadi 3 lapis (10–30%), mendorong kepatuhan wajib pajak dan mengurangi penghindaran pajak. -
Penguatan Sistem Self-Assessment
Diperkenalkan dalam UU PPh 1983, sistem ini diperkuat dengan aturan pembukuan dan sanksi yang lebih jelas. Wajib pajak diberi kepercayaan menghitung sendiri pajaknya, tetapi diawasi ketat melalui mekanisme pemeriksaan. -
Ekspansi Subjek dan Objek Pajak
- BUT (Bentuk Usaha Tetap): Diperluas untuk mencakup aktivitas bisnis digital/penjualan aset oleh perusahaan asing, meski belum selengkap aturan era digital saat ini.
- PPh Final: Dikenalkan untuk sektor tertentu (seperti konstruksi, properti) guna memudahkan administrasi dan menarik investasi.
-
Insentif untuk Investasi
Fasilitas tax allowance dan tax holiday mulai diinisiasi dalam UU ini untuk mendorong industrialisasi, terutama di sektor manufaktur dan ekspor.
Dampak Jangka Panjang:
- UU ini menjadi fondasi reformasi pajak modern Indonesia, termasuk penguatan otoritas Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
- Basis penerimaan PPh meningkat signifikan, dari Rp 8,6 triliun (1990) menjadi Rp 24,4 triliun (1995).
- Namun, beberapa celah (seperti minimnya aturan transaksi lintas batas) baru diatasi melalui revisi UU PPh 2008 dan UU HPP 2021.
Catatan Kritis:
UU ini berlaku efektif pada 1 Januari 1995, bersamaan dengan krisis moneter Asia 1997. Meski demikian, sistem pajak yang lebih transparan dan modern dalam UU ini membantu Indonesia memitigasi dampak krisis melalui stabilisasi fiskal.
Relevansi Kini:
Prinsip-prinsip UU No. 10/1994 (seperti self-assessment dan perluasan subjek pajak) masih menjadi dasar UU PPh yang berlaku (UU No. 36/2008), meski telah disesuaikan dengan perkembangan ekonomi digital dan transparansi global (misalnya Automatic Exchange of Information/AEoI).
Sebagai praktisi hukum, penting memahami bahwa UU ini mencerminkan transformasi Indonesia dari ekonomi berbasis sumber daya alam ke ekonomi berbasis pajak dan industri, sekaligus mengantisipasi integrasi dengan pasar global.