Analisis UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Konteks Historis
-
Era Desentralisasi Pasca-Reformasi 1998:
UU ini merupakan bagian dari dinamika panjang desentralisasi di Indonesia setelah kejatuhan Orde Baru. UU No. 32/2004 (yang diubah oleh UU No. 12/2008) lahir sebagai respons atas kebutuhan memperkuat otonomi daerah sekaligus mengatasi kelemahan UU No. 22/1999 yang dinilai terlalu longgar, menyebabkan fragmentasi politik dan ekonomi daerah. -
Dorongan Politik dan Ekonomi:
Amandemen kedua ini muncul di tengah tekanan untuk menyeimbangkan kewenangan pusat-daerah pasca-pemekaran massal daerah (1999-2008) yang seringkali tidak disertai kapasitas fiskal dan SDM memadai. Ada kekhawatiran pemekaran hanya untuk kepentingan elit lokal, bukan peningkatan kesejahteraan.
Poin Krusial yang Perlu Diketahui
-
Perubahan Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada):
- UU No. 12/2008 menghapus pilkada langsung dan mengembalikan kewenangan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Ini merupakan perubahan radikal dari UU No. 32/2004 yang awalnya mengadopsi pilkada langsung.
- Alasan di Balik Perubahan: Dinilai sebagai kompromi politik antara pemerintah pusat dan DPR yang ingin mengontrol dinamika daerah. Namun, kebijakan ini menuai protes luas karena dianggap mundur dari prinsip demokrasi.
-
Penguatan Kriteria Pemekaran Daerah:
- UU ini memperketat syarat pemekaran daerah (misalnya: batas minimal jumlah penduduk, kapasitas ekonomi, dan infrastruktur) untuk mencegah pembentukan daerah otonom baru yang tidak feasible.
-
Mekanisme Pengawasan Keuangan Daerah:
- Memperjelas peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam mengaudit keuangan daerah, termasuk sanksi bagi kepala daerah yang melanggar. Ini respons atas maraknya korupsi APBD di era otonomi.
Faktor Sosial-Politik yang Mempengaruhi
- Pengaruh Pasca-Tsunami Aceh 2004: Otonomi khusus Aceh (UU No. 11/2006) menjadi preseden untuk memperkuat kerangka hukum desentralisasi yang lebih adaptif.
- Intervensi Mahkamah Konstitusi (MK): Pada 2010, MK membatalkan Pasal 56 UU No. 12/2008 melalui Putusan No. 5/PUU-VIII/2010, mengembalikan pilkada langsung sebagai bentuk pengakuan atas hak konstitusional rakyat.
Dampak dan Kontroversi
- Penolakan Masyarakat Sipil: Kebijakan penghapusan pilkada langsung memicu gerakan "Black Campaign" oleh aktivis dan media, yang akhirnya mendorong MK mengubah keputusan.
- Penurunan Pemekaran Daerah: Aturan ketat UU ini berhasil mengurangi jumlah pemekaran dari 205 daerah (2001-2008) menjadi hanya 7 daerah (2009-2014).
- Kritik atas Sentralisasi Kembali: UU ini dianggap sebagai langkah mundur dari semangat otonomi daerah, terutama dengan menguatnya peran gubernur sebagai "wakil pusat" di daerah.
Keterkaitan dengan Regulasi Lain
- UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah: Menggantikan UU No. 32/2004 (yang telah diubah UU No. 12/2008) dengan menyesuaikan kembali sistem pilkada langsung dan kriteria pemekaran.
- Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010: Menjadi dasar hukum pelaksanaan pilkada langsung hingga sekarang.
Status Terkini
UU No. 12/2008 tidak berlaku lagi sejak diundangkannya UU No. 23/2014. Namun, beberapa prinsipnya (seperti pengawasan keuangan daerah) tetap diadopsi dalam regulasi turunan.
Catatan Penting: Meski sudah dicabut, UU ini menjadi bukti sejarah tarik-menarik antara demokrasi lokal dan sentralisasi kekuasaan di Indonesia. Perdebatan pilkada langsung vs. perwakilan DPRD masih relevan dalam wacana politik hingga kini.