Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta konteks historis dan informasi tambahan kritis:
Konteks Historis
-
Reformasi Desentralisasi Pasca-Orde Baru
UU ini menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 yang lahir sebagai respons atas tuntutan reformasi dan desentralisasi pasca-1998. UU 1999 dinilai terlalu "radikal" dalam memberikan otonomi ke kabupaten/kota, sehingga memicu fragmentasi kewenangan dan ketidakefisienan. UU 32/2004 hadir untuk menyeimbangkan kembali hubungan pusat-daerah dengan memperkuat peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. -
Koreksi atas Kelemahan UU 22/1999
UU 22/1999 dianggap gagal menciptakan sinergi pusat-daerah, memicu konflik kewenangan (misalnya dalam pengelolaan SDA), dan lemahnya pengawasan keuangan daerah. UU 32/2004 memperkenalkan mekanisme pembinaan dan pengawasan (Pasal 214-219) oleh pemerintah pusat untuk mengatasi hal ini. -
Respons atas Krisis Integrasi Nasional
Maraknya pemekaran daerah (dari 26 provinsi pada 1998 menjadi 33 pada 2004) dan potensi disintegrasi (misalnya Aceh dan Papua) mendorong pengaturan ketat pembentukan daerah otonom baru (Pasal 4-12) yang mensyaratkan evaluasi kapasitas fiskal, geografis, dan sosial politik.
Inovasi Krusial yang Perlu Diketahui
-
Asas Desentralisasi Asimetris
UU ini secara implisit mengakomodasi keistimewaan daerah (Pasal 2 ayat 10) seperti Aceh, DKI Jakarta, DIY, dan Papua, yang menjadi dasar penerbitan UU khusus (misalnya UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh). -
Pilkada Langsung
Pasal 56 ayat 2 memperkenalkan pilkada langsung pertama dalam sejarah Indonesia (sebelumnya oleh DPRD). Namun, mekanisme ini direvisi melalui UU 12/2008 tentang Pemilu dan UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu Pilkada. -
Penguatan Peran DPRD
Pasal 42 mengatur hak DPRD untuk meminta laporan keterangan, mengajukan pertanyaan, dan menyatakan pendapat—kewenangan yang kerap memicu ketegangan politik dengan kepala daerah. -
Dualisme Keuangan Daerah
UU ini menjadi dasar lahirnya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) (Pasal 157), tetapi juga memunculkan polemik "daerah donor" vs "daerah penerima" akibat formula transfer dana yang tidak adil.
Kontroversi & Uji Materi
-
Judicial Review MK No. 005/PUU-IV/2006
MK membatalkan Pasal 61 ayat 2 tentang syarat calon kepala daerah berusia minimal 30 tahun, dengan pertimbangan diskriminasi terhadap hak konstitusional warga negara. -
Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011
MK menyatakan pemilihan wakil kepala daerah secara terpisah (Pasal 57 ayat 2) inkonstitusional karena berpotensi menciptakan dualisme kepemimpinan.
Dampak Sosio-Politik
- Booming Pemekaran Daerah: 205 daerah otonom baru terbentuk 2004-2014, tetapi 85% di antaranya gagal mandiri secara fiskal.
- Korupsi Berjemaah: Mekanisme pilkada langsung justru meningkatkan praktik money politics (rata-rata biaya pilkada 2010-2015 mencapai Rp100-300 miliar per daerah).
- Disparitas Kebijakan: 4.932 perda bermasalah (2004-2014) dicabut pemerintah pusat karena bertentangan dengan kepentingan umum.
Perkembangan Terkini
UU ini telah dicabut dan digantikan oleh UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengembalikan kewenangan strategis ke pemerintah pusat (misalnya pendidikan, kesehatan, dan investasi). Namun, prinsip otonomi asli dalam UU 32/2004 tetap menjadi ruh desentralisasi Indonesia hingga kini.