Analisis Hukum Terkait UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 Menjadi Undang-Undang
Berikut adalah konteks historis dan informasi tambahan yang perlu diketahui mengenai UU ini:
1. Latar Belakang Politik dan Hukum
- Kontroversi UU No. 22 Tahun 2014: Sebelum UU No. 1 Tahun 2015 berlaku, DPR dan Pemerintah mengesahkan UU No. 22 Tahun 2014 yang mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung melalui DPRD. Perubahan ini memicu penolakan luas karena dianggap mengerdilkan kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menegaskan bahwa Pilkada langsung adalah konstitusional.
- Perppu No. 1 Tahun 2014: Untuk merespons penolakan publik dan memulihkan mekanisme Pilkada langsung, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2014. Perppu ini kemudian diajukan ke DPR untuk disahkan menjadi undang-undang, yang akhirnya menjadi UU No. 1 Tahun 2015.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Dasar Hukum
- Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009: MK menegaskan bahwa Pilkada langsung merupakan bagian dari rezim demokrasi yang dijamin UUD 1945. Oleh karena itu, upaya mengembalikan Pilkada tidak melalui rakyat (seperti dalam UU No. 22/2014) dinilai inkonstitusional.
- Kedudukan Perppu: Penerbitan Perppu No. 1 Tahun 2014 didasarkan pada alasan kegentingan yang memaksa (Pasal 22 ayat (2) UUD 1945), mengingat UU No. 22/2014 berpotensi menimbulkan kekacauan politik dan melukai prinsip kedaulatan rakyat.
3. Poin Perbaikan dalam UU No. 1 Tahun 2015
UU ini mengatur beberapa perbaikan mendasar dalam sistem Pilkada, antara lain:
- Mekanisme Pemilihan Langsung: Menegaskan kembali bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih langsung oleh rakyat, bukan melalui DPRD.
- Pencegahan Konflik Elektoral: Memperkuat peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mengawasi proses pemilihan, termasuk penyelesaian sengketa hasil Pilkada.
- Syarat Pencalonan: Menambahkan ketentuan tentang integritas dan rekam jejak calon kepala daerah untuk mengurangi praktik politik uang dan korupsi.
4. Dampak Sosial-Politik
- Pemulihan Kepercayaan Publik: UU ini menjadi bukti responsivitas negara terhadap aspirasi rakyat, terutama setelah gelombang protes terhadap UU No. 22/2014.
- Pengaruh pada Otonomi Daerah: Pilkada langsung memperkuat desentralisasi dan akuntabilitas kepala daerah kepada konstituen, sejalan dengan semangat Reformasi 1998.
5. Tantangan Implementasi
- Dinamika Politik Lokal: Meski Pilkada langsung dianggap lebih demokratis, praktiknya masih diwarnai masalah seperti politik identitas, money politics, dan intervensi elit.
- Regulasi Turunan: UU ini memerlukan peraturan pelaksana (seperti PP dan Peraturan KPU) untuk memastikan konsistensi teknis penyelenggaraan Pilkada.
Catatan Penting
- Status Hukum: UU No. 1 Tahun 2015 masih berlaku dan menjadi dasar hukum utama Pilkada langsung hingga saat ini.
- Relevansi dengan UU Pemda: UU ini terkait erat dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga mengatur tata kelola pemilihan kepala daerah.
Kesimpulan: UU No. 1 Tahun 2015 mencerminkan komitmen konstitusional Indonesia dalam menjaga kedaulatan rakyat melalui mekanisme demokrasi langsung, meskipun implementasinya tetap memerlukan pengawasan dan evaluasi berkelanjutan.