Analisis Terhadap UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
1. Konteks Historis
- UU ini lahir pada masa Orde Baru (23 Mei 1997), di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, ketika sentralisasi kekuasaan masih dominan.
- Tujuan utama UU ini adalah memperkuat basis pendapatan daerah melalui instrumen pajak dan retribusi, sekaligus menyesuaikan regulasi dengan dinamika pembangunan daerah yang mulai berkembang.
- Ditetapkan menjelang krisis moneter 1997/1998, yang berdampak pada implementasinya karena ketidakstabilan ekonomi nasional.
2. Peran dalam Desentralisasi Fiskal
- UU ini menjadi landasan awal penguatan otonomi daerah sebelum era Reformasi 1998. Namun, pengaturan jenis pajak dan retribusi masih terbatas serta didominasi kewenangan pusat.
- Contoh: Pajak daerah seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Retribusi Pelayanan Kesehatan diatur secara terpusat, mengurangi fleksibilitas daerah.
3. Kritik dan Keterbatasan
- Sentralistik: Kewenangan penetapan tarif dan objek pajak masih diatur pusat, bertentangan dengan semangat otonomi.
- Tumpang Tindih Regulasi: Tidak jelasnya batasan antara pajak daerah dan pusat memicu konflik kewenangan.
- Transparansi Minim: Mekanisme pengawasan retribusi dinilai rentan penyalahgunaan oleh oknum aparat daerah.
4. Penggantian oleh UU No. 28 Tahun 2009 dan UU No. 1 Tahun 2022
- UU No. 18/1997 dicabut oleh UU No. 28/2009 yang lebih progresif, memperluas jenis pajak daerah (misal: Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan/PBB-P2) dan retribusi berbasis pelayanan publik.
- UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (HKPD) semakin mempertegas prinsip keadilan fiskal dan optimalisasi pendapatan daerah berbasis kinerja.
5. Relevansi saat Ini
- Meski sudah tidak berlaku, UU No. 18/1997 menjadi landasan sejarah reformasi perpajakan daerah di Indonesia.
- Pelajaran penting: Pentingnya keseimbangan antara kewenangan fiskal daerah dan pengawasan pusat untuk mencegah kesenjangan antarwilayah.
Catatan Khusus:
- UU ini hanya bertahan 2 tahun sebelum krisis ekonomi dan pergolakan politik 1998 mengubah paradigma otonomi daerah melalui UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagai advokat, penting memahami bahwa meski UU ini telah dicabut, prinsip-prinsipnya masih relevan dalam menafsirkan sengketa pajak daerah yang terjadi sebelum 2009.