Berikut analisis mendalam mengenai UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan beserta konteks historis dan informasi tambahan yang relevan:
Konteks Historis
-
Era Orde Baru dan Krisis Ekonomi 1997–1998
- UU ini disahkan pada masa akhir pemerintahan Orde Baru (Soeharto), di tengah gejolak krisis moneter Asia yang melanda Indonesia.
- Tujuan utama UU ini adalah menciptakan stabilitas ketenagakerjaan untuk menarik investasi asing, sekaligus mengontrol gerakan buruh yang dianggap potensial mengganggu stabilitas politik.
- Namun, UU ini dianggap tidak responsif terhadap perlindungan pekerja, terutama dalam upah, hak berserikat, dan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang memicu protes buruh saat krisis ekonomi meluas.
-
Dampak Reformasi 1998
- Setelah jatuhnya Orde Baru, tuntutan demokratisasi dan perlindungan hak buruh menguat. UU No. 25/1997 dinilai tidak sesuai dengan prinsip Reformasi yang mengedepankan keadilan sosial.
- Tekanan dari serikat buruh, organisasi HAM, dan komunitas internasional (seperti ILO) mendorong revisi undang-undang ketenagakerjaan.
Kritik terhadap UU No. 25/1997
-
Pro-Kepentingan Pengusaha
- UU ini dianggap terlalu fleksibel bagi pengusaha, terutama dalam hal PHK, tanpa mekanisme kompensasi yang adil.
- Aturan tentang mogok kerja dan pembentukan serikat buruh sangat dibatasi, bahkan memerlukan izin pemerintah.
-
Tidak Mengakui Pluralitas Serikat Buruh
- Hanya mengakui satu serikat buruh (SPSI) yang dekat dengan rezim Orde Baru, bertentangan dengan Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat.
-
Ketidakjelasan Perlindungan Pekerja Kontrak/Outsourcing
- Tidak ada batasan jelas mengenai pekerja kontrak atau alih daya, sehingga rentan dieksploitasi.
Transisi ke UU No. 13 Tahun 2003
UU No. 25/1997 akhirnya dicabut dan digantikan oleh UU No. 13/2003 karena:
- Penyesuaian dengan Prinsip Reformasi
- UU baru mengakui kebebasan berserikat, mekanisme PHK yang lebih adil, dan hak mogok kerja tanpa intervensi berlebihan.
- Respons terhadap Globalisasi
- Memasukkan aturan tentang pekerja migran, keselamatan kerja, serta perlindungan bagi pekerja perempuan dan disabilitas.
- Kritik atas UU No. 25/1997
- UU 25/1997 dianggap tidak mampu menjawab tuntutan keadilan pasca-Reformasi, terutama setelah maraknya PHK massal selama krisis.
Warisan UU No. 25/1997
- UU ini menjadi dasar transformasi hukum ketenagakerjaan Indonesia dari sistem yang sentralistik ke arah yang lebih partisipatif.
- Meski telah dicabut, beberapa prinsipnya (seperti pengupahan dan hubungan industrial) masih memengaruhi peraturan turunan hingga saat ini.
Catatan Penting
- Status Hukum: UU No. 25/1997 tidak berlaku lagi sejak diubah oleh UU No. 13/2003.
- Relevansi Saat Ini: Polemik UU No. 25/1997 mengingatkan pentingnya keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan perlindungan pekerja dalam pembentukan kebijakan ketenagakerjaan.
Semoga analisis ini memberikan perspektif komprehensif untuk memahami dinamika hukum ketenagakerjaan di Indonesia.